ArtI S'BuaAh PrbEdaAn
Jangan berani untuk sama? Ya, ada baiknya juga memang kalimat tersebut,
meski kalimat itu menurut saya sangat bersayap alias bisa berarti banyak.
Tergantung siapa yang menerjemahkannya dan untuk menjelaskan beragam
maksud. Tentu sesuai pula dengan persepsi masing-masing orang. Itulahsebabnya kalimat tersebut saya nilai sebagai kalimat
“bersayap”.
Kalimat “Jangan berani untuk sama”, bisa berarti bahwa kita
nggak perlu minder untuk berbeda dengan yang lain. Bahkan perbedaan itu
sangat boleh jadi justru sebuah keberanian. Tentu, kalo untuk sesuatu yang
sama, nggak usah (terlalu) berani. Begitu kira-kira. Sebuah pilihan yang
mungkin saja sudah dipertimbangkan sangat matang. Nggak asal aja.
Misalnya nih, kalo ada temen yang punya hobi mantengin info olahraga
sepakbola mancanegara (dari mulai baca sampe nonton setiap pertandingannya
di televisi), ya kita nggak perlu harus merasa sama dengan hobi temen kita
itu. Apalagi jika kita nggak terlalu suka dengan segala hal yang berkaitan
dengan sepakbola. Tapi, karena ingin dianggap gaul soal sepakbola dan
supaya diterima dalam komunitas itu, akhirnya kita memberanikan diri untuk
punya hobi yang sama. Hmm.. itu salah besar karena nggak mau jujur sama
diri sendiri. Betul nggak sih? Meski tentu saja, dalam hal ini, kalo pun
pengen sama hobinya dengan teman kita itu, silakan saja. Mubah aja kok.
Persamaan dan perbedaan
Sobat muda muslim, persamaan dan perbedaan itu memang bisa berarti banyak
dan bisa banyak persepsi. Itu sebabnya, kita preteli dikit-dikit,
pilah-pilah supaya bisa menentukan sikap. Nggak asal beda aja, atau nggak
cuma merasa sama dengan yang lain. Setuju kan?
Nah, kalo kita ‘syarah’ (dianalisis dan diperjelas) lagi, insya
Allah kita bisa nentuin sikap. Misalnya tentang keputusan kita memilih
menjadi aktivis rohis. Tentunya kita memilih berbeda dengan kebanyakan
teman lain yang justru saat itu lebih cenderung gabung di klub ekskul
olahrga, tari, pecinta alam, atau kegiatan lainnya. Berbeda dari teman lain
dengan menjadi aktivis rohis, tentunya ini adalah sebuah keberanian. Iya
kan? Berani untuk beda dengan teman yang ‘biasa’ aja, dan
berani untuk sama dengan aktivis rohis.
Lalu bagaimana dengan teman kita yang justru ingin berbeda dari komunitas
anak rohis? Ia nggak berani untuk sama dengan anak rohis. Tapi berani untuk
berbeda dari anak rohis dengan menjadi anak gaul yang hobinya dugem dan
gaul bebas dengan lawan jenis. Baginya, menjadi aktivis dugem dan gaul
bebas adalah sebuah keberanian untuk tidak sama dengan anak rohis.
Memang sih itu pasti bergantung sudut pandang. Maka, sebuah standar wajib
dimiliki. Supaya nggak semua orang bisa mengklaim bahwa dirinya benar.
Boleh aja sih merasa dirinya benar, tapi harus bisa buktiin dengan kuat
kalo dirinya tuh benar.
Lha, kalo yang kayak gini gimana jadinya? Hmm.. itu sebabnya, menurut saya
kalimat itu disebut “bersayap” alias banyak arti tergantung
persepsi orang yang menerjemahkannya. Waduh, gimana urusannya dong? Mana
yang benar dan mana yang salah? Kapan boleh berbeda dan kapan seharusnya
sama?
Tenang sobat, nggak usah keburu bingung atau stres. Ini justru menurut saya
adalah bagian dari kelemahan kita sebagai manusia. Dengan demikian, kita
memang nggak bisa menentukan sesuatu itu benar atau salah sesuka hati,
pikiran, atau perasaan kita (termasuk hawa nafsu kita). Bahaya. Karena apa?
Karena bisa jadi banyak persepsi. Singkatnya, kita perlu standar yang
mengatur batasan-batasan tersebut. Ya, kudu ada ukuran yang fixed. Nggak
bisa sembarangan.
Inilah barangkali alasan kenapa “ukuran panjang satu meter” pun
sudah ditetapkan secara internasional. Alat pengukur lain harus
dikalibrasi (diuji, dicocokan) dengan standar yang dibuat. Supaya ada
kesamaan dan kejelasan penilaian. Bayangin deh kalo untuk sebuah ukuran
saja harus ada sekian ukuran yang ditentukan sesuai selera masing-masing,
kita pasti bingung pilih yang mana. Iya kan? Misalnya aja ukuran panjang
“sedepa” itu diukur lewat panjang rentangan dua tangan tiap
orang yang beda-beda. Kalo kemudian masing-masing orang meyakini sesuai
pengukurannya, kita pusing. Karena setiap ukuran panjangnya jadi sesuai
‘ukuran’ rentangan tangan masing-masing. Padahal, orang yang
tinggi dengan yang pendek pasti beda ukuran rentang tangannya. Betul apa
bener?
Boleh beda, tapi ada saatnya wajib sama
Sobat muda muslim, saya menulis artikel ini dengan judul, “arti
sebuah perbedaan” tentu bukan tanpa alasan, lho. Begini nih
penjelasannya. Berbeda boleh saja kok. Asal, itu dalam sebuah koridor yang
dibolehkan untuk berbeda. Misalnya, untuk selera makan, ya nggak bisa
disamain tiap orang. Rasa suka kepada lawan jenis juga nggak bisa disamain
untuk semua orang. Warna baju juga boleh berbeda kok. Termasuk boleh juga
berbeda pendapat dalam masalah furu’iyah (cabang). Misalnya, kita
nggak bisa maksa orang untuk melakukan sholat shubuh dengan melakukan qunut
atau tidak. Karena kedua pendapat itu masing-masing memiliki dalil. Untuk
kasus ini nggak perlu ributlah. Nggak perlu mengklaim salah satu benar dan
satunya pasti salah. Karena yang seharusnya disalahkan adalah yang nggak
sholat shubuh. Seharusnya kedua belah pihak bersatu padu untuk menyadarkan
yang masih belum mau sholat shubuh. Tul nggak seh?
Bagaimana dengan yang tidak boleh berbeda (dan itu harus sama), dalam
masalah apa aja? Nah, menurut saya di sini berlaku pernyataan bahwa
“bagi yang mau sama”, dapet gelar berani. Misal, sebagai muslim
kita wajib menjadikan Islam sebagai the way of life kita. Bukan agama lain,
atau kepercayaan lain (termasuk ideologi lain) untuk menuntun hidup kita.
Ya, cuma Islam. Di sinilah kita wajib sama dan kudu berani untuk sama.
Karena kesamaan ini jelas ada dalilnya. Ketika kita sudah menyatakan
sebagai muslim, maka seluruh kehidupan kita harus rela diatur oleh Islam.
Bukan yang lain.
Lho kok Islam sih? Ya iyalah, memangnya mau aturan yang mana? Apakah kepala
sekolahmu nggak marah dan murka kalo sekolah di sekolahnya, tapi kamu malah
milih aturan sekolah lain, atau setidaknya nggak percaya dengan aturan di
sekolahmu sendiri. Adil nggak sih? Begitu juga dengan Islam. Kalo udah
menyatakan masuk Islam, berarti kudu setia diatur sama Islam. Iya ndak?
Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan..” (QS al-Baqarah [2]: 208)
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah
Swt. telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai
RasulNya agar mengadopsi sistem keyakinan Islam (‘akidah) dan
syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan
seluruh laranganNya selagi mereka mampu.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
Katsir I/247)
Imam an-Nasafiy menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk
senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah Swt. atau Islam (Imam
an-Nasafiy, Madaarik al-Tanzil wa Haqaaiq al-Ta’wiil, I/112).
Imam Qurthubiy menjelaskan bahwa, lafadz “kaaffah” merupakan
“haal” dari dlamiir “mu’miniin”. Makna
“kaaffah” adalah “jamii’an.” (Imam Qurthubiy,
Tafsir Qurthubiy, III/18)
Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus
Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi.
Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah saw. agar diberi ijin
merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka (padahal mereka sudah masuk
Islam). Selanjutnya, permintaan ini dijawab oleh ayat tersebut di atas.
Terus nih, Imam Thabariy juga menyatakan: “Ayat di atas merupakan
perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam;
perintah untuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh; dan larangan
mengingkari satu pun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.”
(Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, II/337)
Ini artinya, kita nggak boleh menawar-nawar lagi untuk melakukan ibadah
yang bukan berasal dari Islam. Misalnya aja, bagi seorang mualaf, karena
dulunya setiap minggu ke gereja untuk kebaktian, maka setelah masuk Islam
udah nggak boleh lagi tuh ikutan kebaktian di gereja. Karena emang udah
bukan lagi ajaran dari Islam. Sebaliknya wajib taat sama Islam.
Sobat muda muslim, dengan ayat ini, berarti kita kudu total dalam memeluk
Islam. Nggak boleh belang-belang. Nggak boleh setengah-setengah. Jangan
sampe berbagai aturan kita pake untuk ngatur hidup kita, padahal kita
muslim. Itu namanya “malapraktek”. Kita ngakunya muslim, tapi
nyuri barang orang lain jadi hobi kita. Kita bilang ke mana-mana bahwa kita
aktivis rohis, ternyata kita malah melakukan pacaran. Ortu kita rajin
ngajinya, tapi yang diulik bukan al-Quran, melainkan primbon Jawa atau
ajaran sekularisme. Lha, ini jelas salah prosedur, guys!
Di sinilah kita harus berani untuk sama. Nggak boleh nekat berbeda. Allah
kembali menjelaskan dalam firmanNya, “Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai
Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.” (QS al-Ahzab [33]: 36)
Sebagai kesimpulan, bahwa “arti sebuah perbedaan” itu kudu
jelas batasannya. Ada saatnya kita boleh berbeda, tapi ada saatnya kita
harus sama. Tapi standar boleh dan tidaknya kita berbeda atau sama itu
hanya aturan Islam. Ya, itu karena kita sebagai seorang muslim.
Guys, jangan sampe kita berani untuk beda, tapi ternyata
“bedanya” kita itu malah dibenci dalam ajaran Islam. Karena
apa? Karena perbedaan yang kita kampanyekan justru melanggar ajaran Islam.
Misalnya, kita sebagai muslim berani beda dengan cara mengkampanyekan
pentingnya demokrasi dan sekularisme sebagai the way of life kita. Atau,
kita menganggap bahwa Islam nggak boleh diterapkan sebagai ideologi negara.
Wah, itu sih namanya perbedaan yang tak pantas disandang dan bahkan
mencoreng kepribadian kita sebagai Muslim. Bukan pahala yang didapat, tapi
dosa. Ati-ati ya Bro! Yuk, kita berani sama menjadi seorang muslim yang
taat dan pejuang Islam. Itu baru oke!